Usulan Pemerintah Kabupaten Jepara dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) untuk merubah Perda Nomor 14 Tahun 1998 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum mengecewakan Panitia Khusus (Pansus) II DPRD Kabupaten Jepara. Ranperda ini memang menjadi satu dari delapan Ranperda yang perubahannya diusulkan oleh eksekutif, belum lama ini. (Radar Kudus, Selasa, 3/3). Kekecewaan Pansus II terkait dengan monotonnya draf usulan pasal-pasal di dalam Ranperda. Usulan perubahan yang hanya berkisar pada perubahan tarif retribusi parkir, dinilai belum mencerminkan rumusan perda yang mampu menggali aspek lain untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menyadari posisi PAD sebagai alat ukur kemandirian sebuah daerah, sudah sewajarnya jika DPRD memberikan sikap kritis atas regulasi ini. Apalagi, sebagaimana daerah lain di Indonesia, Kabupaten Jepara sejauh ini masih memiliki ketergantungan finansial yang sangat besar kepada pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari target pendapatan yang diamanatkan dalam APBD tahun 2009.
Tahun ini pendapatan daerah yang diproyeksikan sebesar Rp. 772,9 miliar, sungguh didominasi aliran dana dari pusat. Dana perimbangan menjadi pemasok mayoritas, sebesar Rp. 642,9 miliar. Perinciannya, dana bagi hasil pajak / bukan pajak Rp.44,75 miliar; Dana Alokasi Umum (DAU) Rp. 522 miliar; dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp. 76,1 miliar. Bandingkan dengan target PAD yang hanya sebesar Rp. 72,7 miliar!
Sedemikian besarnya ketergantungan itu, maka keinginan DPRD Jepara agar terjadi peningkatan PAD harus didukung. Terpenting, hunting pundi-pundi PAD tidak menjadi beban masyarakat, sebagaimana kesepakatan yang selama ini ada. Dengan demikian, peningkatan PAD yang berujung pada percepatan pembangunan di daerah bisa dirasakan sebagai sebuah bentuk pelayanan pemerintah(an) kepada masyarakat. Dan terkait dengan fakta bahwa PAD adalah parameter kemandirian sebuah daerah, maka peningkatan PAD tapak demi tapak diharapkan mampu mengantarkan daerah ini menuju ke amanat otonomi daerah tersebut.
Cukup beralasan saat DPRD tidak puas karena tidak melihat adanya terobosan untuk menggali potensi parkir yang baru. Jika benar usulan perubahan itu hanya berputar pada perubahan tarif retribusi parkir, maka ranperda tersebut belum beranjak dari model pengelolaan parkir konvensional sebagaimana yang selama ini dijalankan di Jepara. Untuk itu perlu dicari model pengelolaan yang setidaknya sedikit lebih baru, tanpa menghilangkan model pengelolaan yang sekarang ada.
Pengelolaan parkir khusus, atau apapun nanti namanya, bisa jadi merupakan salah satu alternatif yang bisa dipilih.
Untuk mewujudkannya, dapat dilakukan studi ke daerah lain yang sudah memiliki aturan sejenis. Yang terdekat tentu saja Kabupaten Kudus yang bersebelahan langsung dengan Jepara. Di kudus, terdapat dua titik contoh yang menjadi obyek penerapan aturan jenis ini, yakni di seputar dua pusat perbelanjaan. Di belakang Mall Kudus dan di lapangan parkir depan Kudus Plaza
Secera teknis, model pengelolaan parkir khusus ini terhitung mudah dilakukan. Mendapatkan tempat parkir yang representatif, setiap pengendara yang masuk cukup menunjukkan STNK kendaraannya untuk dicatat pada karcis parkir yang diberikan. Saat pulang, STNK dan karcis kembali ditunjukkan sebagai bukti pengambilan kendaraan.
Dengan model semacam ini, tarif yang dikenakan bisa sedikit lebih besar dari tarif parkir di tepi jalan umum. Namun pemilik kendaraan merasa nyaman menggunakan jasa yang diberikan karena merasa keamanan kendaraannya terlindungi.
Di Jepara, model semacam ini bisa diberlakukan di Pasar Jepara Satu (Pasar Ratu). Tempat parkir di lantai dua pasar ini lebih representatif dari kedua contoh di atas. Jika terdapat regulasi parkir khusus ini, penjaga parkir memiliki dasar hukum kuat untuk memungut retribusi parkir sebagaimana diatur di dalamnya. Pada sisi lain, calon pembeli yang mengendarai sepeda motor merasa nyaman memanfaatkan. Hal ini sekaligus dapat menjadi solusi dari persoalan yang kerap muncul dalam penerapan model titipan yang sekarang ada.
Pedagang di lantai dua Pasar Ratu pernah diberitakan melakukan protes kepada pengelola pasar. Mereka menganggap tarif titipan (bukan tarif parkir) sepeda motor yang pernah disebut sebesar Rp. 1.500,- terlalu tinggi sehingga berpengaruh pada sepinya pembeli.
Selain di Pasar Ratu, tempat parkir di halaman RSU RA. Kartini juga bisa menjadi titik pemberlakuan jika Jepara telah memiliki perda ini. Dalam banyak kesempatan di acara dialog interaktif di Radio Kartini FM, Bupati Jepara Drs. Hendro Martojo, MM sering mendapatkan protes atas tingginya tarif titipan sepeda motor yang juga sama, pernah mencapai Rp. 1.500,-. Meski bupati telah meminta pengelola menurunkannya, keluarga dan pembesuk pasien tetap ada yang keberatan dengan tarif Rp. 1.000,- yang sekarang diberlakukan.
Di luar dua titik tersebut, perkembangan masa akan menentukan titiklainnya.
Jika seluruh pertimbangan pada akhirnya menjadikan aturan semacam ini masuk dalam perda yang sedang dibahas, maka menjadi jawaban kecil atas keinginan mendapatkan potensi sumber retribusi yang baru. Pun demikian jika mungkin menjadi perda baru. Masalahnya sekarang, siapa yang akan berinisiatif mengajukan ranperda semacam ini.
Saat DPRD Jepara merasa ranperda perubahan atas Perda Nomor 14 Tahun 1998 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum belum mampu menggali aspek lain sebagai potensi parkir baru, maka lembaga ini bisa saja tidak menunggu legislatif mengajukan usulannya. Pasal 25 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memang mengamanatkan pengajuan ranperda sebagai salah satu tugas dan wewenang kepala daerah. Namun ruang gerak yang sama juga dberikan kepada legislatif untuk mengajukan perda inisiatif. Dan perda inisiatif DPRD ini akan menjadi kado manis menjelang masa purna tugas.
Sulismanto, warga Jepara
Penulis adalah Reporter Radio Kartini FM Jepara, dengan nama udara Indra Sadewa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar